Kamis, 02 Juli 2009

Demokrasi Berbasis Kampus, Adakah?

Oleh: Rara Handayani

Dengung reformasi yang dihantarkan mahasiswa ’98 kini tak lagi terdengar. Hari –hari yang lapar semenjak reformasi bergulir membuat kita hanyut dalam drama demokrasi yang membawa babak-babak menyeramkan dalam pentas bangsa yang kita anggap merdeka. Semangat politis ‘dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat’ menjadi tema perjalanan konflik–konflik yang bermunculan demi menyangga tiang yang bernama ‘Negara Indonesia’.

Lalu…muncul pertanyaan…Apakah demokrasi itu? Mahasiswa-kampus-demokrasi, adakah? Dimana letak demokrasi? Dipundak rakyat atau siapa? Beribu teror pertanyaan akan menyeruak dalam benak kita ketika mengingat memori kolektif wajah demokrasi Indonesia, yang notabene milik rakyat. Kemudian, fikiran kita tertuju pada kampus. Kampus melahirkan insan intelektualitas yang juga menjunjung semangat demokrasi. Maka, kita akan membayangkan pergerakan, dan geliat mahasiswa yang akan menjadi generasi penerus bangsa.

Kampus menjadi media pendewasaan bagi mahasiswa. Berorganisasi, mendapat pembelajaran, dan berkreatifitas. Apa jadinya kalau tidak ada trasparansi sesama aparatur kampus. Tentunya akan merugikan banyak pihak, khususnya begitu terasa oleh mahasiswa. Dimana persoalan kedisiplinan, kesopanan, hanya ditujukan kepada mahasiswa. Sementara pernahkan memberikan teladan dan contoh yang baik kepada mahasiswa. Bagaimana mungkin memberikan contoh yang baik, sementara masih banyak dosen, karyawan, pemimpin yang tidak disiplin, bersikap, dan bertindak tidak mencerminkan nilai-nilai islami. Seorang teman saya pernah berujar, “ contoh yang baik adalah dakwah yang baik”. Saya sependapat dengan teman saya karena dakwah itu tidak hanya menceramahi, menggurui, tapi memberikan pembelajaran.

Penyesalan mahasiswa terhadap perubahan konstitusi lembaga mahasiswa secara keseluruhan tak bisa dibendung. Kekecewaan ini mencuat ketika adanya campur tangan Depag RI terhadap konstitusi Lembaga mahasiswa IAIN Imam Bonjol Padang. Mestinya, dalam merubah konstitusi lembaga, mahasiswa juga dilibatkan dalam melakukan perubahan konstitusi tersebut. Nyatanya, pihak rektorat beserta anggota senat membahasnya sendiri. Sedangkan, yang menjalaninya adalah mahasiswa. Hal ini sangat tidak relevan dan tumpang tindih.

Perubahan lembaga mahasiswa yang sesuai dengan SK Rektor IAIN Imam Bonjol Padang tentang Pedoman Organisasi Kemahasiswaan salah satunya perubahan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEMI) menjadi Dewan Mahasiswa (DEMA).

Beberapa bulan DEMA sudah hadir ditengah-tengah mahasiswa. Namun suaranya belum terdengar. Kehadirannya pun masih begitu asing oleh sekalangan mahasiswa. Entah tak mau peduli dengan kampus atau sudah muak dengan birokrasi – birokrasi kampus yang kotor penuh hiruk – pikuk dan legitimasi kekuasaan. Saya pernah mendengar ada yang bilang kampus islami ini aman, tenang, damai karena tidak ada lagi demo mahasiswa. Sekilas memang terlihat tenang dan aman. Tapi sebenarnya ada semacam ‘perang dingin’ yang memperalat mahasiswa. Mahasiswa dijadikan boneka sebagai alat politik demi kepentingan kekuasaan. Bahkan sebahagian mahasiswa tidak sadar kalau suatu pergerakan cepat akan menggulirkan haknya dan ia akan dibodohi. Mahasiswa belum aman.

Kampus masih menjadi saksi bisu ketika hak –hak mahasiswa digadaikan. Menyedihkan sungguh nasib mahasiswa. Lalu sampai kapan mahaiswa hanya diam? Mana semangat reformasi yang dulu didengungkan menuju perubahan, “demokrasi milik rakyat, bukan penguasa!”

Tidak ada komentar: